Pada lipatan sejarah dialah orang pertama yang diajak oleh Ustadz Abdullah Hinduan
mendirikan Ma'had Islam. Beliau tidak sempat mendengar pekik
"Merdeka" dan mengajar kurang dari dua tahun di sekolah yang turut ia
dirikan. Sulit menggambarkan riwayat hidup dan perjuangan beliau dalam
mendirikan Ma'had Islam. Sekalipum sebenarnya menurut penuturan dari banyak
sumber, Ustadz kelahiran Pekalongan ini jasanya sangat besar sekali dalam
upayanya dalam mendirikan Perguruan Ma'had Islam Pekalongan. Mungkin
dikarenakan beliau meninggal dunia di usia muda (34 tahun) itulah hanya sedikit
cerita atau murid yang mengnal ayah dari dua anak ini. Beliau termasuk tipe
seorang pendidik yang lembut dan santun pada murid-muridnya. penampilan
keseharianya sangatlah sederhana tapi rapih untuk ukuran seorang yang berkecukupan.
Sejak kecil beliau memang terlahirkan dilingkungan yang boleh dikata sangat
kaya pada masa itu. Sebelum menjadi pengajar di Madrasah Arabiyah Islamiyah
(MAI), atas saran dan biaya dari ayahnya, akhirnya Zen muda berangkat ke negeri
hadramaut untuk mendalami ilmu fiqih.
Sepulang
sekolah dari Hadramaut, akhirnya beliau memutuskan untuk menjadi pengajar di
MAI. Perkenalannya dengan Abdullah, rekan kerjanya sesama pendidik, diantaranya
pernah tercetus ide merubah modal pendidikan dan kurikulum dimana mereka
mengajar. Diantaranya adalah merubah dari sistem pendidikan tradisional yang
hanya mengajarkan ilmu agama pada anak didiknya, yakni dengan muatan kurikulum
pendidikan agama dan pendidikan umum. Sedangkan bahasa pengantar yang
dipergunakan adalah bahasa Indonesia. Sementara untuk pelajaran agama dan tentu
saja mata pelajaran bahasa arab tetap menggunakan bahasa arab sebagai bahasa
pengantar. Tapi entah mengapa, ide cemerlang seperti itu, rupanya tidak
berkenan dihati para rekan pengajar dimana mereka mengajar. Menurut beberapa
sumber, pada saat itu , ide model pendidikan macam itu boleh dikata cukup
revolusioner, untuk tidak mengatakan "Sekuler". Maklum saja, memang
pada saat itu, hampir semua Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang "Berbau
Ukhrawi" saja. Dan mereka justru bertanya, " Buat apa mengajarkan
murid-murid kita yang bersifat duniawi? "
Akhirnya,
setelah terjadi perdebatan panjang antara mereka berdua dengan rekan sesama
pengajar di MAI, ditolaklah ide dari Ustadz Zen bin Yahya dan Ustadz Abdullah
Hinduan itu. Bisa jadi yang menolak ide itu tidak melihat arti pentingnya
pendidikan umum bagi murid-muridnya di kelak kemudian hari. Dan sebaliknya,
waktulah yang menjawab ketajaman visi dan ide pendidikan modern mereka berdua.
Selang tidak lama setelah perdebatan itu, akhirnya mereka berdua dengan
mengajak serta muridnya di MAI (Muhammad Assegaf, Basari Ahmad, Muchsin Alatas)
dan juga Muhammad Baragbah memutuskan untuk merealisasikan modal pendidikan
yang mengajarkan 100% pendidikan agama dan 100% pendidikan atau pengetahuan
umum dengan nama Perguruan Ma'had Islam.
Waktu
pun terus berdetak, sejak 8 Nopember 1942, suami dari Khodijah binti Abdul
Qodir Yahya itu mulai aktif mengajar sesuai dengan keahliannya dibidang ilmu
fiqih dan bahasa Arab pada murid-muridnya. Ayah dari Sidah Zen dan Ali Zen ini
sangat menikmati profesinya sebagai pengajar di sekolah yang beliau dirikan
bersama kawan dan bekas muridnya. Beliau dikenal oleh muridnya tidak hanya
sebagai guru yang baik, tapi juga ayah yang sayang pada anak-anaknya.
"Sewaktu mengajar, sering diajak menemani ayah ke sekolah, " kenang
putri sulungnya, Sidah Zen. Mungkin, lanjut Sidah Zen, hanya masa indah itulah
yang saya ingat bersama ayah. Memang, beliau tidak lama mengajar di Ma'had
Islam. Pada saat mengajar, kedua kakaknya Umar bin Abdurrahman bin Yahya dan
Husein bin Abdurrahman bin Yahya ditangkap oleh Jepang. Mendengar kabar buruk
itu, saat itu juga beliau mulai jatuh sakit-sakitan, hingga akhirnya beliau
meninggal dunia pada hari Jum'at, 6 Rabi'ul Tsani 1363 atau 31 Maret 1944.
Ustadz yang berkacamata minus ini memang tidak sempat menikmati lebih lama
menjadi seorang ayah sekaligus pengajar. Lebih kurang hanya setahun saja ia
mengajar, sementara jiwa dan pemikirannya sedang dibutuhkan oleh Ma'had Islam.
Jalan hidupnya yang singkat itu, seolah menempatkannya pada lipatan sejarah
Ma'had Islam. Sungguh sayang. Tapi mungkin begitulah wujud cinta Allah pada
hamba-Nya yang sering datang dalam bahasa yang tidak kita mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar