“Onderhandelaar” Sang Negoisator “
Dia perpaduan antar
pendidik, orang tua dan politikus. Kepiawaiannya dalam bernegosiasi senantiasa
menempatkannya pada garda depan perjuangannya. Keras dalam displin, teguh
pendiriannya serta perbawa pembawaannya, adalah profil yang akrab dikenal oleh
kawan dan murid- muridnya. Baginya, tidak ada toleransi bila ada murid yang
melanggar peraturan tata tertib sekolah. Begitu pula dalam mendidik
anak-anaknya di keluarga. Meski demikian Ustadz Muhammad Baraghbah adalah
seorang guru dan orang tua yang begitu enak untuk diajak komunikasi dan
diskusi. Teguh dan berwibawa menjadikan ia disegani oleh kawan maupun lawan.
The negoisator atau juru runding predikat yang tepat buat ustadz kelahiran
Ahad, 8 Dhulhijjah 1341/22 Juli 1923 ini.
Julukan seperti itu
mungkin tidak berlebihan, “Buktinya, ia menjadi orang kepercayaan Ustadz
Abdullah Hinduan ketika melakukan kontak dengan para pejuang dalam menepis isu
bahwa Ma’had Islam tengah berkolaborasi dengan Belanda. Walhasil, dari
kontak-kontak tersebut, Ma’had Islam mendapat kepercayaan yang sangat tinggi.
Banyak guru republik ini yang meminta jam mengajar di sekolah Ma’had Islam,”
demikian penuturan H. Ali A. Gani, yang pernah diajak Ustadz Muchammad
Baraghbah untuk bertemu dengan pimpinan gerilyawan saat itu. Mungkin latar
belakang pendidikan Belanda yang membentuk kepribadian beliau seperti itu.
Maklum saja, sedari kecil ia mengenyam pendidikan di HIS ( Holland Inlandse
School ) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwys ) di Pekalongan. Selepas dari
situ, ia meneruskan sekolah HKI (Holland Inlandse Kweek School), sekolah bagi
para calon guru di Bandung. Baraghbah yang terlahir dengan nama Muhammad
Baraghbah, adalah buah pasangan dari Abdurrahman bin Syeikh Baraghbah dengan
Salmah Binti Husein Assegaf. Ia beruntung lahir di keluarga berada, yang
menjadikan ia berhasil menuntaskan pendidikan Belanda yang dikenal kelewat
mahal, dan tidak bisa dienyam oleh semua kawan sebayanya.
“Ayah selalu berpenampilan sederhana. Bahkan acapkali sangat tidak diperhatikan dengan penampilan dirinya " tutur Abdullah putra sulung beliau.
Meski Baraghbah berasal
dari keluarga mampu, namun ia bukanlah pria pesolek yang senantiasa tampil
perlente., sebagaiman jamaknya anak orang kaya. “Ayah selalu berpenampilan
sederhana. Bahkan acapkali sangat tidak diperhatikan dengan penampilan dirinya.
Begitu pula dengan apa yang dikenakan , sehingga terkadang istri ustadz atau ibu
Abdullah (Fatmah) harus mengingatkan bahkan memilih apa yang harus
dikenakan,”tutur Abdullah, putra sulung dari 8 bersaudara. Meski terbilang
mampu, juga tidak menjadikannya tak acuh dengan nasib umat.
Sepanjang hidupnya,
dicurahkan untuk kegiatan umat. Sampai dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,
ustadz tidak begitu memikirkan. Tapi untung saja ustadz adalah orang yang
sangat memahami, bahwa suaminya yang ia cintai tidak saja menjadi milik
keluarga, tetapi juga telah menjadi milik umat. Oleh karena itu, dalam memenuhi
kebutuhan mencari nafkah, masih menurut Abdullah, ibu ustadz Muhammad Baraghbah
lebih berperan. Sebagai orang yang menghargai arti pentingnya pendidikan,
beliau sangat antusias dengan gagasan Ustadz Abdullah Hinduan untuk mendirikan
sekolah. Bahkan ia yang berupaya keras dalam meyakinkan Ustadz Abdullah
Hinduan, ketika Ustadz Abdullah hampir putus asa dalam mendirikan Ma’had Islam
di Pekalongan, dan berencana memindahkan ke Wonosobo. Berbekal pendidikan dari
sekolah keguruan telah memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap
Ma’had Islam, terutama dalam masalah-masalah kurikulum dan administrasi
pengajaran. Begitulah peran dan kerja keras Baraghbah muda ketika mendirikan
Ma’had Islam beserta founding father (para pendiri) lainnya. Padahal menurut
penuturan pembentukan pendirian Ma’had Islam ayah Baraghbah ( Abdurrahman Bin
Syeikh Baraghbah ) merupakan orang yang juga terlibat dalam pendirian Ma’had
Islam. Namun karena pada saat rapat-rapat pembentukan Ma’had Islam beliau
sedang didera sakit. Akhirnya Beliau , mempercayakan Baragbah muda sebagai
penggantinya. Baginya, kepercayaan yang diberikan itu bukanlah “cek kosong”
yang bisa diisi seenaknya. Apa yang diterima, ia kerjakan dengan penuh tanggung
jawab. Walhasil, sejarah pun mencatat bahwa Baragbah muda berhasil “melunasi”
amanat yang diberikan oleh ayahnya. Keahlian sebagai juru runding pun ia
buktikan ketika menghadapi beberapa pihak yang tidak setuju dan bahkan mengecam
pembentukan Ma’had Islam di Pekalongan. Maklum saja, ide Ustadz Abdullah
Hinduan mendirikan Ma’had Islam kala itu boleh dibilang sangat revolusioner,
seperti menanggalkan model pendidikan sorogan (ala pesantren ) menjadi modern
saat itu. Sebagai orang pergerakan istilah yang populer pada saat itu untuk
sebutan aktivis Baraghbah muda banyak terlibat di pelbagai kegiatan di luar
sekolah. Akan tetapi, keterlibatannya tidak menyurutkan aktivitas beliau di
sekolah berkurang. Aktivitasnya dalam melawan agresi Belanda, sempat
menghantarkan ustadz ke nusakambangan. Namun, sekali lagi, berbekal
kepiawaiannya bercakap Belanda, menjadi “sang negosiator” urung ditahan
berlama-lama. Setelah Belanda “angkat kaki” dari Indonesia, Muhammad Baraghbah
banyak terlibat dalam gerakan poliltik praktis. Bersama dengan ustadz Basari
dan pengurus partai yang lain, beliau memimpin partai Masyumi di Pekalongan.
Pada pemilu 1955, beliau terpilih menjadi wakil rakyat atau DPRD Pekalongan.
Setelah Masyumi dibubarkan tidak menyurutkan semangatnya dalam berorganisasi.
Pada saat Orde Lama ia giat membina kader-kader Islam terutama PII, bahkan
ketika M. Natsir mendirikan DDII, ustadz dipercaya untuk memegang lembaga itu
di Pekalongan. Menurut penuturan anak-anaknya, kegiatan beliau sangat menyita
waktu. Hanya pada saat pagi sebelum mengajar atau selepas isya, beliau sering
di rumah. Selebihnya, ustadz lebih banyak di luar rumah. Tetapi berdasarkan
penuturan Abdullah, walaupun beliau sangat sibuk, tapi masih penuh perhatian
pada keluarganya. Beliau selalu menanyakan apa yang telah dilakukan oleh
anak-anaknya. Bahkan begitu perhatiannya ia tidak sungkan memanggil guru les ke
rumah. Al Ustadz Muhammad Baraghbah, “Sang Negoisator” yang dikagumi oleh
keluarga, murid, kawan dan lawan, itu akhirnya meninggalkan kita semua untuk
selama-lamanya. Ia wafat pada 1 Mei 1986 dalam usia lanjut 63 tahun di rumah
sakit Semarang. Dan kita pun kehilangan orang yang sangat kita kagumi.
0 komentar:
Posting Komentar