Sebagai anak ketujuh dari empat belas bersaudara,
Muchsin kecil sudah menampakkan bakat sebagai anak yang cerdas. Disamping giat
belajar, ia juga sekali dengan aktivitas baca dan tulis. Tanpa dinyana,
kebiasan baik seperti itu rupanya yang bakal menghantarkan pria kelahiran
Pekalongan ini menjadi seorang guru atau ustadz yang sangat dihormati oleh anak
didiknya.
Masa pendidikan ia tamatkan di MAI ( Madrasah
Arabiyah Islamiyah). Sebagai murid yang tergolong cerdas, setelah lulus
kemudian beliau diminta mengajar di bekas almamaternya. Melihat itu semua,
sepulang dari Mesir, Ustadz Abdullah Hinduan tertarik mengajak bekas muridnya
di MAI itu agar turut serta membantu pendirian Ma’had Islam. Lalu, ajakan sang
ustadz itu tidak ia sia-siakan. Pada saat itulah ia sangat dekat sekali
hubugannya dengan Ustadz Abdullah Hinduan.
Begitu dekatnya, sampai banyak hal yang menjadi
pemikiran Ustadz Abdullah Hinduan disampaikan kepada Ustadz Muchsin untuk
mendapatkan pertimbangan-pertimbangan. Termasuk ide awal pendirian sekolah
Ma’had Islam. Akhirnya ide pendirian Ma’had Islam pun mengerucut setelah ia
bersama Ustadz basari, Ustadz Zen, dan Habib Syeikh Bafagih Yahya banyak
terlibat aktif dalam pembicaraan-pembicaraan awal dengan Ustadz Abdullah
Hinduan.
Sampai menjelang akhir
hayat Ustadz Hinduan, ia dikenal sebagai “Sekretaris” beliau dalam upayanya
membesarkan Ma’had Islam. Di mana ada Ustadz Hinduan, disitulah Ustadz Muchsin
berada. Menurut penuturan beberapa sumber, bekal kepandaiannya menulis dan bela
diri memposisikan dirinya sebagai asisten sekaligus “pegawai” pribadi Sang
Ustadz. Pasalnya, pada saat-saat awal berdirinya Ma’had Islam, Ustadz Hinduan
banyak mendapatkan tentangan, baik itu oleh beberapa masyarakat Pekalongan,
juga pihak Jepang maupun Belanda.
Berbeda dengan pendiri Ma’had Islam lainnya,
Ustadz Muchsin tidak banyak terlibat dalam kegiatan publik, baik di oraganisasi
masyarakat, maupun organisasi politik seperti partai. Bisa jadi, karena jiwa
pendidiknya begitu domain, seluruh waktunya lebih banyak ia curahkan untuk
mengajar di Ma’had Islam dan beribadah. Menurut penuturan murid-murid yang
pernah diajar oleh beliau, suami dari lulu binti Muhammad Shahab ini merupakan
guru yang sangat dihormati, ia sangat sabar dalam menghadapi anak didiknya.
Bahkan bila ada murid yang bebalnya bukan main, ia tidak jemu untuk
mengulang-ulang pelajaran hingga si murid memahami benar apa yang diajarkannya.
Selepas mengajar,
waktu luangnya ia sempatkan buat menulis semacam text pidato sambutan untuk
acara-acara tertentu. Tulisan-tulisan tersebut beliau buat untuk text sambutan
istri beliau jika sedang mengisi acara. Seperti sambutan pada acara maulid nabi
Muhammad SAW, sambutan untuk acara nisfu sya’ban, peringatan tahun baru
hijriyah , pidato hari Idul Fitri dan Idul Adha. Juga ada yang berupa semacam
kisah. Salah satunya adalah kisah sayidatuna Nafisah cucu Rasulullah SAW.
Sampai sekarang, beberapa tulisannya masih tersimpan rapi dan terawat baik oleh
keponakan beliau habib Muhammad bin Ahmad Alatas
Ada lagi yang berupa
rekaman kaset. Direkam saat beliau sudah sakit dan sudah tidak keluar rumah.
Namun dalam rekaman tersebut dibuat sedemikian rupa hingga seolah-olah beliau
sedang berpidato dihadapan khalayak. Isi ”ceramah” itu antara lain adalah tentang
kisah kelahiran Rasul SAW, tentang sifat-sifat kaum muttaqin, tentang Ghibah,
dan tentang taubat.
Masa mudanya ia jalani sebagaimana layaknya anak
seusianya, yang juga gemar bermain dan berolahraga. Mungkin semua jenis
olehraga pernah ia jajal. Entah sewaktu muda ia suka berkelahi atau tidak, tapi
yang jelas, dari pelbagai jenis olahraga, rupanya ia sangat terpikat dengan
olahraga macam bela diri. Menurut penuturan keponakannya, Habib Muhammad bin
Ahmad Alatas,”kegilaan” ia berlatih bela diri sempat menarik perhatian orang
tuanya. Maka pada suatu ketika, sang Ayah, Ali Alatas memperhatikan jurus-jurus
yang sedang coba dimainkan oleh anaknya sembari melihat
kekurangan-kekurangannya.
Muchsin termasuk anak
yang beruntung, karena ayahnya sendiri yang juga guru bela diri itu mau pula
melatih dan mewariskan keahlian yang ia miliki. Walhasil, pucuk di cinta ulam
pun tiba, maka tiap hari ia pun giat ber ”ciat-ciat” langsung dibawah
pengawasan ayahnya yang ia kagumi. Akan tetapi, Muchsin muda, sejatinya sudah tidak
terlalu asing dengan olahraga yang konon jadi simbol ”kejantanan” pada zaman
itu. Maklum saja, anak muda yang bakal turut mendirikan Perguruan Ma’had Islam
ini, memang dilahirkan pada lingkungan keluarga yang kental akan tradisi bela
diri. Selain ayahnya, semua saudara beliau boleh dikata ahli dalam bidang
tersebut.
Tapi siapa sangka, kalau semuanya itu bermula dari
kebiasaan Muchsin muda yang tangannya getol menaik-turunkan beban berat semacam
barbel (dumb bell). Suatu ketika Ali Alatas, ayah yang penuh perhatian pada
anak-anaknya, melihat aktivitas Muchsin sambil berujar, ”Mengangkat barbel
adalah olahraga bagus. Namun akan ayah ajari kamu jenis olahraga yang akan
membuat seluruh tubuh dan inderamu terlatih.
Waktu pun terus berputar, dan pria kelahiran tahun
1919 itu, kian tekun menggali ilmu bela diri dari ayah beristrikan Nur Alatas.
Masih menurut penuturan keponakannya, ayah beliau mengatakan bahwa Muchsin
sangat cepat dan tangkas menyerap ilmu yang diajarkan. Bahkan hanya dengan
mengamati dari jurus ke jurus bela diri, beliau sudah mampu mempraktikkan
secara sempurna.
Bagi Muchsin, agaknya
olahraga bela diri jadi semacam candu bagi dirinya. Tidak puas dengan apa yang
ia peroleh dari ayahnya, ia tak segan mencari guru bela diri lain. Dari sekian
guru yang beliau timba ilmunya yakni mbah kofal yang tinggal di bilangan
Krapyak. Ia salah satu guru silat yang cukup disegani kala itu. Serta, Haji
Ghozali dari daerah Sepacar, Tirto. Kebetulan, Haji Ghozali ini masih famili
Muchsin Alatas.
Meski kelihaian bela
dirinya tidak diragukan, pembawaan ustadz Muchsin sangat supel, baik budi dan
tidak sombong, berkat kegemarannya berolahraga, menjadikan tubuh Muchsin Alatas
begitu atletis, kekar dan kuat. Mungkin karena sebab itulah, ia dijuluki oleh
murid-muridnya dengan sebutan Ustadz Muchsin ”Bhuto” ( Besar seperti
raksasa). Tetapi, embel-embel ”bhuto” pada belakang namanya tidak membuatnya
meradang, ia justru senyum maklum dengan predikat barunya itu. Sampai
sepeninggalnya, ia masih dikenal dengan Ustadz Muchsin ”Bhuto”.
Sekian tahun akhir
masa hidupnya, Ustadz Muchsin sudah sering sakit-sakitan. Ia terkena sejenis
virus yang menyerang otak. Dan menurut dokter spesialist otak yang
menanganinya, sempat mengatakan bila saja kondisi pasien yang terjangkit virus
tersebut bukan Ustadz Muchsin, maka dapat dipastikan tidak akan mampu bertahan
lama.
Ustadz yang selalu berangkat shalat Jum’at ke Masjid Aulia dengan berjalan kaki itu akhirnya menyusul para pendiri yang terlebih dahulu menghadap Sang Khaliq. Sampai akhir hayatnya, beliau tidak dikaruniai anak. Hanya ada satu anak angkatnya bernama fatimah. Pada usia 81 tahun, guru yang kita cintai itu meninggalkan kita semua pada tanggal 9 September 2000
0 komentar:
Posting Komentar