"Sulit menemukan padanan ustadz
yang juga ilmuwan dan ulama pada saat ini. Keikhlasannya dalam mendidik para
siswanya, layak jadi panutan para guru sekarang. " Seorang pemuda yang berpenampilan santun, tidak terlihat sedikitpun keangkuhan
dan kecongkakan,raut mukanya yang menunjukkan kejernihan dan kebeningan
hatinya, sedang duduk dengan penuh perhatian dan antusias mendengarkan Sang
Ustadz yang berbicara dengan penuh kharismatis.
Dialah pemuda Abdullah bin Hamid Al
Hinduan, salah satu putra terbaik Pekalongan. Dilahirkan pada tahun 1907, di
sebuah kampung yang sekarang dikenal dengan kampung Ledok di kota Pekalongan
ini.
Di sana pula ia dibesarkan dengan
pendidikan islam dalam sebuah keluarga yang agamis, berpegang teguh pada agama
yang telah dianut oleh para pendahulunya bersama seorang saudara perempuan yang
kurang begitu dikenal, Faizah. Karena ia meninggal lebih dahulu darinya dan
belum berkesempatan untuk menghirup kehidupan keluarga.
Sejak kecil ia begitu akrab dengan
buku-buku agama yang bertuliskan huruf-huruf arab dan lingkungan tempat ia
tinggal dan belajar pun sangat akrab dengan pergaulan yang islami. Percakapan
sehari-harinya pun banyak didominasi oleh bahasa nenek moyang tempat
kakek-kakeknya dilahirkan, yaitu bahasa Arab.
Syamailul Huda, demikian nama yang
sering dikaitkan dengan Madrasah Islam yang berbau Arab ini, meskipun banyak
dari siswanya yang pribumi asli, dan barangkali dari pergaulannya yang supel
dan tidak kenal suku maupun bangsa ini pula yang kemudian banyak membentuk jiwa
nasionalisme dan pan islamisme yang cukup tinggi. Di sinilah ia banyak menimba
ilmu dari gurunya, Ibnu Hasyim yang ikut mengukir bakat dan menghantarnya
kepada gerbang cita-cita dan tujuan hidupnya di kemudian hari. Di samping itu
dikisahkan bahwa pada waktu bersamaan ia juga belajar di Madrasah Salafiyah
Islamiyah yang didirikan oleh Al Habib Ahmad bin Thalib Alatas.
Meski ada yang mengatakan tidak
menamatkan belajarnya di Madrasah tersebut. Tidak banyak yang diketahui oleh
kebanyakan orang mengenai pertumbuhan dan perkembangannya di masa kecil dan
remajanya. Barangkali hal ini lantaran orang-orang yang seusianya sudak tidak
ada yang hidup.
Di samping tidak banyak orang yang
cukup memperhatikan peran dan perjuangan di masa-masa muda dan dewasanya.
Sehingga tidak terdapat satu pun manuskrip atau tulisan yang mengisahkan
perjalanan hidupnya di masa remaja sebagaimana kebanyakan tokoh pada saat itu.
Namun bukan berarti hal itu akan memutuskan tali sejarah yang pernah ia ukir
dengan tinta emas, dan gemanya tetap bergaung sepanjang masa.
Setamatnya dari Syamailul Huda, ia
tidak melanjutkan studinya langsung ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
seperti universitas atau perguruan yang setingkatnya. Tapi ia langsung
mengabdikan dirinya pada madrasah tersebut. Namun, tanpa diketahui apa sebabnya
Ustadz muda ini beralih mangajar pada Madrasah Arabiyah Islamiyah.
Kemudian berkat ketekunan dan kedisiplinan di samping kecerdasan yang dimilikinya, maka pada tahun 1938 ia berkesempatan memperoleh bea siswa untuk belajar di negeri Piramide, negeri Cleopatra, Mesir di Universitas Daar El Ulum, di Fakultas Tarbiyah atau kependidikan, jurusan Adab (sastra) dan bahasa Arab. Setelah tiga tahun ia belajar di Cairo Mesir tepatnya pada tahun 1941, pemuda Abdullah dengan kesungguhan dan kecerdasan yang memang sudah dimilikinya sejak kecil dapat meraih gelar Master dibidang Sastra Arab dengan yudisium Mumtaz ma'a ad darajat asy syaraf al ula (summa cumlaude).
Kemudian berkat ketekunan dan kedisiplinan di samping kecerdasan yang dimilikinya, maka pada tahun 1938 ia berkesempatan memperoleh bea siswa untuk belajar di negeri Piramide, negeri Cleopatra, Mesir di Universitas Daar El Ulum, di Fakultas Tarbiyah atau kependidikan, jurusan Adab (sastra) dan bahasa Arab. Setelah tiga tahun ia belajar di Cairo Mesir tepatnya pada tahun 1941, pemuda Abdullah dengan kesungguhan dan kecerdasan yang memang sudah dimilikinya sejak kecil dapat meraih gelar Master dibidang Sastra Arab dengan yudisium Mumtaz ma'a ad darajat asy syaraf al ula (summa cumlaude).
Dari sini, mulai tampak semangat
pembaharuan yang ia bawa dari negeri Piramide, Mesir. Karena sekembalinya dari
Mesir, ia kembali mengabdikan dirinya di MAI lagi dengan banyak mengemukakan
gagasan-gagasan pembaharuan dan reformasi dalam segala hal. Namun hal itu oleh
sebagian besar para guru yang masih berpikiran konservatif dan tradisionalis
ini, ditentang. Akhirnya, seperti yang bisa ditebak, ia dengan perasaan berat
hati mengundurkan diri dari kewajibannya mengajar di MAI tersebut.
Sejak saat itu pula kegiatannya
beralih dari mengajar formal menjadi mengisi pengajian-pengajian dan menyebarkan
ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat banyak, sambil terus memikirkan
suatu gagasan cemerlang dan revolusioner reformatif dengan memaparkannya dan
mempresentasikannya kepada beberapa muridnya yang dipandangnya berpikiran
maju dan dinamis selain kepada seorang sahabat atau beberapa sahabatnya, yang
kemudian seorang dari mereka menanggapinya secara antusias dan siap memberikan
dukungan untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya.
Sejalan dengan perjalanan waktu,
dalam beberapa kali pertemuan yang dihadiri oleh para pendukungnya, akhirnya
pemuda Abdullah Hinduan dengan mengucapkan Bismilahirrahmanirrahim disertai
beberapa kali istikharah ia memutuskan untuk mendirikan sebuah Perguruan Islam.
Dengan begitu, Ma'had Islam bisa dijadikannya sebagai wadah perjuangan dan
penyebaran agama melalui jalur pendidikan sesuai dengan latar belakang
pendidikan yang ia peroleh dari Universitas Daar El Ulum, Mesir.
Keputusan penting dan agung ini
tidaklah mudah ia ambil, kecuali setelah melalui banyak pertimbangan dan mulai
akan meninggalkan Kota Pekalongan dan akan berjuang di wilayah Jawa Barat
seperti Garut dan Losari, atau di kota Wonosobo dan Semarang. Bahkan Abdullah
sempat merasa putus asa dan menganggap gagasan mulia ini akan kandas ditengah
perjuangannya karena banyaknya tantangan yang ia hadapi dari pihak tokoh-tokoh
ulama yang barangkali kurang sepaham dan sejalan dengan paradigma pemikiran
pendidikannya.
Tapi dari sinilah peran penting dari para pendukung beliau yang oleh sejarah dicatat sebanyak lima tokoh. Empat diantaranya tergolong masih muda, Yaitu Muhammad Baragbah, Muhammad bin Ahmad Assegaf, Basari Ahmad serta Muchsin bin Ali Alatas. Satu sisanya adalah seorang ilmuan, ulama ahli fiqih keturunan Arab Hadramaut, Ustadz Zein bin Abdurrahman bin Yahya Al Hadiramie.
Tapi dari sinilah peran penting dari para pendukung beliau yang oleh sejarah dicatat sebanyak lima tokoh. Empat diantaranya tergolong masih muda, Yaitu Muhammad Baragbah, Muhammad bin Ahmad Assegaf, Basari Ahmad serta Muchsin bin Ali Alatas. Satu sisanya adalah seorang ilmuan, ulama ahli fiqih keturunan Arab Hadramaut, Ustadz Zein bin Abdurrahman bin Yahya Al Hadiramie.
Mereka berlima inilah yang
meyakinkan beliau untuk tetap berjuang di Pekalongan dan mendirikan Perguruan
Islam. Tepat pada tanggal 8 Nopember 1942, dengan kesepakatan mereka berenam
tercetuslah Perguruan Islam. Lalu mereka pun mendeklarasikannya dengan nama
Perguruan Ma'had Islam Pekalongan. Dengan bantuan seorang dermawan dan
simpatisannya disewakanlah sebuah rumah sederhana untuk dijadikan sebagai
tempat sementara belajarnya para siswa perguruan baru ini. Rumah sewa ini dulu
milik Salim Bakran yang sekarang terletak di Jl. Cempaka. Atas kebaikan hati
dan kesimpatikan yang datang dari keluarga Sungkar, diwakafkanlah sebuah tanah
berikut bangunannya yang terletak di Dukrian, sekarang Jl.H. Agus Salim No. 14
untuk dijadikan sekolah bagi Perguruan Ma'had Islam ini.
Itulah gedung pertama yang dimiliki oleh Perguruan Ma'had Islam Pekalongan.
Itulah kilas balik singkat perjuangan Ustadz Abdullah bin Hamid Al Hinduan dalam membesarkan nama Islam, Agama Allah, dalam wadah Perguruan Ma'had Islam Pekalongan, Tepatnya pada hari Rabu, 13 Dzulhijjah 1371 / 3 September 1952, beliau harus meninggalkan kita semua diusia beliau yang relatif muda, 43 tahun. Kini ia bersemayam di pekuburan Sapuro, Pekalongan. Beliau tidak meninggalkan suatu yang menurut orang sekarang berharga, baik bagi putra-putrinya maupun murid-muridnya yang senantiasa menemani beliau dalam setiap gerak dan langkah perjuangannya bagi Izzul Islam Wal Muslimin. Beliau hanya mewariskan ilmu agama dan akhlak yang luhur bagi semua yang ditinggalkannya. Hanya saja, apakah warisan itu benar-benar telah melekat pada diri para penerus estafet perjuangannya dalam membesarkan Islam melalui Perguruan yang kita cintai ini? Entahlah. Biarlah realitas yang berbicara dan menyimpan segala kenyataan.
Itulah gedung pertama yang dimiliki oleh Perguruan Ma'had Islam Pekalongan.
Itulah kilas balik singkat perjuangan Ustadz Abdullah bin Hamid Al Hinduan dalam membesarkan nama Islam, Agama Allah, dalam wadah Perguruan Ma'had Islam Pekalongan, Tepatnya pada hari Rabu, 13 Dzulhijjah 1371 / 3 September 1952, beliau harus meninggalkan kita semua diusia beliau yang relatif muda, 43 tahun. Kini ia bersemayam di pekuburan Sapuro, Pekalongan. Beliau tidak meninggalkan suatu yang menurut orang sekarang berharga, baik bagi putra-putrinya maupun murid-muridnya yang senantiasa menemani beliau dalam setiap gerak dan langkah perjuangannya bagi Izzul Islam Wal Muslimin. Beliau hanya mewariskan ilmu agama dan akhlak yang luhur bagi semua yang ditinggalkannya. Hanya saja, apakah warisan itu benar-benar telah melekat pada diri para penerus estafet perjuangannya dalam membesarkan Islam melalui Perguruan yang kita cintai ini? Entahlah. Biarlah realitas yang berbicara dan menyimpan segala kenyataan.
Wallahul Haadie, wal muwaffiq ilaa
sawaais sabiel. Wal hamdulillahi Rabbil Alamin.
0 komentar:
Posting Komentar